17 September 2011

ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA BAHAS PERUBAHAN IKLIM

Bengkulu, 15/9 (ANTARA) - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Daerah Bengkulu membahas dampak perubahan iklim terhadap eksistensi masyarakat adat yang mendiami Pulau Enggano, Kecamatan Enggano Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu, Kamis.

"Kami menggelar lokakarya ini untuk menggali dampak perubahan iklim bagi masyarakat adat yang tinggal di Pulau Enggano dengan menghadirkan seluruh kepala suku dan kepala pintu," kata Ketua Pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Bengkulu Haitami Sulani di sela-sela lokakarya.
Para kepala suku yang hadir dalam lokakarya tersebut merupakan perwakilan dari lima suku asli yang mendiami pulau terluar itu yakni Suku Kaitora, Suku Kauno, Suku Kaahua, Kaaruba dan Kaharubi, serta satu suku diberikan kepada pendatang yakni Kamay.

Ia mengatakan perubahan iklim telah berdampak nyata terhadap Pulau Enggano, salah satunya penyempitan daratan akibat laju abrasi yang tinggi, terutama di wilayah perairan Desa Apoho dan Desa Malakoni.

"Pemerintah harus memberikan perhatian khusus pada Pulau Enggano karena kondisinya semakin memprihatinkan, bahkan jika tidak ada tindakan nyata, pulau tersebut terancam hilang," katanya.

Masyarakat adat, menurut dia, harus diberikan kepercayaan penuh untuk menjaga kelestarian pulau tersebut sesuai dengan hukum adat yang masih dilestarikan masyarakat setempat.

Selain itu pemberdayaan ekonomi masyarakat juga harus ditingkatkan selain peningkatan kualitas infrastruktur dan kesehatan masyarakat.

Pulau Enggano saat ini dihuni lebih dari 780 kepala keluarga dengan jumlah jiwa lebih 2.800 orang.

Koordinator Kepala Suku Pulau Enggano Iskandar Zulkarnain Kauno mengatakan perubahan iklim sudah berdampak pada meningginya permukaan air laut di pulau itu.

"Pada 1960-an panjang pulau ini 45 kilometer dan luasnya 18,5 kilometer, tetapi saat ini panjangnya tinggal 40 kilometer dan lebar 17 kilometer," katanya.

Menurutnya, penyempitan daratan akibat gerusan ombak ini semakin parah dalam lima tahun terakhir di mana diperkirakan daratan yang sudah ambles ke laut mencapai 40 meter.

Hal itu, terbukti dari keberadaan benteng peninggalan Jepang di Kahyapu yang pada 1960-an masih berjarak 30 meter dari tepi pantai, tetapi saat ini sudah berada di dalam laut.

"Benteng itu sekarang sudah di dalam laut, jadi diperkirakan terjadi penyempitan daratan sepanjang 40 meter," tambahnya.

Untuk mengantisipasi laju abrasi tersebut, pihaknya sudah mengusulkan pembangunan pemecah gelombang (break water) sepanjang 500 meter di antara Desa Malakoni dan Apoho yang tingkat abrasinya paling tinggi.

Namun, hingga saat ini usul tersebut belum ditanggapi baik oleh Pemkab Bengkulu Utara maupun Pemprov Bengkulu.

Haitami menambahkan, sejak 2009, AMAN dan masyarakat adat Enggano sudah melakukan penanaman bakau di kawasan pesisir untuk memperluas hutan pantai atau sabuk hijau (green belt) penahan gelombang.

© Copyright 2011 Perum LKBN Antara Biro Bengkulu . All rights reserved | Contact Us | About Us

Back to TOP